Senin, 20 Februari 2012

Anak Jalanan (Cerbung)


Seperti biasa pagi ini aku berangkat menuju terminal. Bukan untuk naik angkutan umum pergi ke sekolah, tapi untuk mengamen. Aku biasa mengamen ditemani sobat karibku, Linda, mengamen dari satu angkutan ke angkutan lain, dari pagi hingga malam, terkadang hingga tengah malam. Keluargaku tlah tiada, satu-satunya yang ku punya hanyalah nenek, entah ia nenek kandungku atau bukan, yang ku tahu dialah yang mengasuhku, yang membelaiku, yang mencurahkan kasih sayang kepadaku sejak kecil. Kasih sayang tak pernah putus, sampai kini ia hanya bisa berbaring di ranjangnya yang keras. Ia adalah perempuan yang kuat, sebelum ia sakit, ia yang mencari uang untuk menghidupiku, ia berusaha agar aku bisa sekolah, sayang sejak ia sakit aku putus sekolah, dan sejak saat itu aku mulai mengamen bersama sobat karibku untuk memenuhi kebutuhan kami, jangankan untuk beli obat nenek, untuk makan sehari saja terkadang tidak mencukupi. Sakit nenek pun semakin parah dan puncaknya 2 tahun setelah ia terkena penyakit itu.
Semenjak meninggalnya nenek, aku tinggal bersama Linda dirumah kosong dekat terminal. Rumah itu tak berpenghuni, tak ada listrik, jika malam pun gelap gulita. Kami tak hanya tinggal berdua, kami tinggal bersama anak-anak yang sama seperti kami. Putus sekolah, tak punya keluarga, dan hidup luntang-lantung di jalanan. Kerjaku semakin semraut, bus-bus yang biasa menjadi sumber penghasilanku, kini banyak yang diberhentikan, karena pengoperasian bus transjakarta. Aku slalu ditemani sobat karibku, pekerjaan apupun kami tekuni, mulai dari pedagang asongan, tukang koran, pencuci motor, pengelap kaca di lampu merah, penyapu kereta, pemulung botol, sampai mencopet pun kami pernah tekuni. Semua kami lakukan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.
Jalanan adalah hidupku, polusi adalah sahabatku, terik panas matahari adalah bagian tubuhku. Gedung-gedung menjulang tinggi, bagai menembus awan. Orang-orang dengan pakaian rapi dan wangi pergi bekerja, sedangkan aku, mandi pun jika hujan saja, pakaianku hanya 1, yang ku pakai saja. Tak ada yang peduli dengan keadaanku. Walau begitu aku tetap mensyukuri segala anugerah yang diberikan Allah, aku masih hidup, aku masih diberikan kesehatan, belum tentu orang-orang berjas sehat, banyak juga diantara mereka yang menderita penyakit yang cukup parah.
Betahun-tahun kujalani hidup dijalanan. Pengalaman hidup dijalanan membuat ku tegar, membuat ku kuat. Kuat menghadapi segala terpaan hidup. Tak hanya celaan yang ku dapat tapi juga siksaan fisik. Mereka kira aku hasil anak haram yang dibuang orang tuaku, mereka bilang aku bodoh, ada sekolah gratis tapi aku tak sekolah, mereka bilang aku anak yang tak berguna bagi Bangsa dan Negara, mereka bilang aku hanyalah sampah masyarakat. Aku bukan anak haram, hanya aku tak tau orang tuaku. Aku bukan tak mau sekolah tapi aku tak punya biaya, sekolah gratis bukan gratis seluruhnya, aku tak punya uang untuk membeli buku dan seragam. Aku bukan tak berguna, hanya saja aku tak mau menunjukkan yang aku bisa, karena aku tak ingin sombong. Aku bukan sampah masyarakat, aku hanyalah seorang anak yang berusaha bekerja, bukan meminta-minta.


bersambung....