Seperti biasa pagi ini aku berangkat
menuju terminal. Bukan untuk naik angkutan umum pergi ke sekolah, tapi untuk
mengamen. Aku biasa mengamen ditemani sobat
karibku, Linda, mengamen dari satu angkutan ke angkutan lain, dari pagi hingga
malam, terkadang hingga tengah malam. Keluargaku tlah tiada, satu-satunya yang
ku punya hanyalah nenek, entah ia nenek kandungku atau bukan, yang ku tahu
dialah yang mengasuhku, yang membelaiku, yang mencurahkan kasih sayang kepadaku
sejak kecil. Kasih sayang tak pernah putus, sampai kini ia hanya bisa berbaring
di ranjangnya yang keras. Ia adalah perempuan yang kuat, sebelum ia sakit, ia
yang mencari uang untuk menghidupiku, ia berusaha agar aku bisa sekolah, sayang
sejak ia sakit aku putus sekolah, dan sejak saat itu aku mulai mengamen bersama
sobat karibku untuk memenuhi kebutuhan kami, jangankan untuk beli obat nenek,
untuk makan sehari saja terkadang tidak mencukupi. Sakit nenek pun semakin
parah dan puncaknya 2 tahun setelah ia terkena penyakit itu.
Semenjak meninggalnya nenek, aku
tinggal bersama Linda dirumah kosong dekat terminal. Rumah itu tak berpenghuni,
tak ada listrik, jika malam pun gelap gulita. Kami tak hanya tinggal berdua, kami
tinggal bersama anak-anak yang sama seperti kami. Putus
sekolah, tak punya keluarga, dan hidup luntang-lantung di jalanan. Kerjaku
semakin semraut, bus-bus yang biasa menjadi sumber penghasilanku, kini banyak
yang diberhentikan, karena pengoperasian
bus transjakarta. Aku slalu ditemani sobat karibku, pekerjaan apupun kami
tekuni, mulai dari pedagang asongan, tukang koran,
pencuci motor, pengelap kaca di lampu
merah, penyapu kereta, pemulung botol, sampai mencopet pun kami pernah tekuni.
Semua kami lakukan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.
Jalanan adalah hidupku, polusi
adalah sahabatku, terik panas matahari adalah bagian tubuhku.
Gedung-gedung menjulang tinggi, bagai menembus awan. Orang-orang dengan pakaian
rapi dan wangi pergi bekerja, sedangkan aku, mandi pun jika hujan saja,
pakaianku hanya 1, yang ku pakai saja. Tak ada yang peduli dengan keadaanku. Walau begitu aku tetap mensyukuri segala anugerah yang diberikan Allah,
aku masih hidup, aku masih diberikan kesehatan, belum tentu orang-orang
berjas sehat, banyak juga diantara mereka yang menderita penyakit yang cukup
parah.
Betahun-tahun kujalani hidup dijalanan.
Pengalaman hidup dijalanan membuat ku tegar, membuat ku kuat. Kuat
menghadapi segala terpaan hidup. Tak hanya celaan yang ku dapat tapi juga
siksaan fisik. Mereka kira aku hasil anak haram yang dibuang orang tuaku,
mereka bilang aku bodoh, ada sekolah gratis tapi aku tak sekolah, mereka bilang
aku anak yang tak berguna bagi Bangsa dan
Negara, mereka bilang aku hanyalah sampah masyarakat. Aku bukan anak haram,
hanya aku tak tau orang tuaku. Aku bukan tak mau sekolah tapi aku tak punya
biaya, sekolah gratis bukan gratis seluruhnya, aku tak punya uang untuk membeli
buku dan seragam. Aku bukan tak berguna, hanya saja aku tak mau menunjukkan
yang aku bisa, karena aku tak ingin sombong. Aku bukan sampah masyarakat, aku
hanyalah seorang anak yang berusaha bekerja, bukan meminta-minta.
bersambung....
bersambung....